Sepucuk Surat Rasa Terima Kasih Untuk Guru – Puisi Miftah Sr

Sepucuk Surat Rasa Terima Kasih Untuk Guru

Puisi oleh Miftah Sr

 

 

Pagi hari membangunkanku untuk jumpa mentari

Dengan senyum tulusnya yang kemudian memberi energi

Menghangatkan tubuh, memberi imunitas alami

Ini serupa peranmu wahai Guru, tentang bagaimana engkau bermanifestasi

Mengembang ke dalam jiwa-jiwa kami

Membabat habis kekerdilan pikiran kami

Mereduksi seluruh akar kebodohan dalam diri

Dan menciptakan spektrum kecerdasan yang mungkin jarang kami sadari

 

Tak terhitung berapa waktu yang engkau habiskan untuk kami

Engkau selalu dan senantiasa semangat saat membersamai kami

Meski engkaupun tahu, betapa kami terkadang bisa membuatmu sakit hati

Namun engkau tak peduli, bahkan tetap menjadi malaikat yang melindungi

 

Guru…

Terima kasih untuk setiap detik waktu

Terima kasih untuk rasa sabar yang membatu

Terima kasih atas setiap cucuran peluh

Terima kasih atas rasa cinta yang tumbuh

 

Guru…

Itulah sebab, sepucuk surat ini tertuang dalam bait-bait puisi

Agar setidaknya, ucapan rasa terima kasih kami ini ada unsur kreasi

Atau justru terkesan naif, entahlah, tapi hormat kami padamu begitu kompleks

Budi baikmu tak bisa diganti hanya dengan seberapa banyak lembar uang ataupun cek

 

Maka untuk melengkapi yang tak bisa terganti oleh duniawi

Kami meng-create waktu demi kirimkan untaian doa-doa samawi

Semoga engkau wahai Guru, tak pernah tidak terberkahi

Dan selalu dalam peluk penjagaan Gusti Robbul Izzati

 

 

13.08.2022

Bandung

 

 

Tentang Rindu yang Mengakar ~ Puisi DP Anggi

Tentang Rindu yang Mengakar

Puisi DP Anggi

 

ketika jarak engkau persalahkan
ketika waktu tak kau maknai kesempatan
senyum riang berubah tangisan
pikiran bimbang Dilema pun datang

ketika dunia tak hanya berbicara tentang cinta
engkau memandangnya bak silau permata
bagimu hidup hanya cinta saja
tanpa harus merasakan duka dan lara

oh… tentang rindu yang mengakar
ia menembus ruang-ruang hampa hingga senyum melebar
kau malu-malu dengan rasa berdebar
tak melihatnya sekali saja kau rasa menggelepar

janganlah rindu yang engkau pupuk membuatmu Merana
sebab masih banyak yang mesti kau kerjakan dan kau jaga
janganlah sebab penantian tak usai-usai
kesetiaan pudar, iman pun terkulai

oh… Tentang rindu yang mengakar
jika ia tak usai mengadulah pada Al-Ghaffar
engkau dekaplah kasihNya yang Maha Menyaksikan
agar hatimu tak lalai dari segala kewajiban

 

12 Juni 2013

 

Bara Api Si Pejuang Ulung

Bara Api Si Pejuang Ulung

Puisi Oleh Perempuan K

Membadai…
Bergemuruh…
Mahadasyat…

Jalanan diramaikan
Teriakan-teriakan memekik…
Memecahkan…
Meruntuhkan…

Lawan…lawan…
Sampai titik darah penghabisan…

Tajam peluru…
Ayunan sepatu besi…
Gas air mata…
Bukan pembela negara
Penjahat negara

Air mata…
Mengecap empedu
Tangan berlumpur selokan busuk
Melahap sampah
Rongga jiwa tercipta

Mereka titipkan padaku…
Untuk apa mundur…

Penjara bukan menjadi kutukan…
Mati dalam perlawanan
Bukan menjadi maut
Yang perlu ditakuti…

Kebenaran senjata
Rakyat kekuatan
Selangkahpun tak mundur…

Semakin membara
Api semngat…
Meradang amarahku…
Todongkan senapanmu kejantungku…
Pelurumu tak berarti
Tak gentar jiwa
Jika maut meremas jantung

Pengecut…
Penjahat…
Tembak aku…
Bunuh aku….

Sosok sembunyi dibalik senjata…
Pembela negara
Pengecut….

Sesalku…
Kegagalanmu menjadi pembela
Kerhasilmu menjadi penakut…

Jika nyawaku kaku
Jiwaku hidup
Dari generasi ke generasi…

Api juang…
Pejuang ulung
Tak terpadamkan
Menyala panas
Membakar borok tubuh pemimpin…

Tiga puluh Oktober
Berangka ganjil…
Terekam jejak
Bak tragedi Sembilan Delapan…
Di negeriku…
Tanah tumpah darahku…

Ende, 31 November 2017

Pujangga Desa Penghuni Nirwana

Pujangga Desa Penghuni Nirwana

Puisi oleh Nurul Farida

 

 

Langkahmu selalu dicemburu para raja singgasana

Berlakon memakmurkan tanah lahirmu dengan perkasa

Menjadi pemuda cekat dibutuhkan umat

 

Sederhana, namun penuh wibawa

Meski sekolahpun tak tamat, tapi kau nampak bermartabat

Dan nyatanya kau lebih berharga

Daripada mereka pemuda penghuni Ibukota

Yang hanya tau bersenang-senang semata

 

Kaulah pejuang desa

Yang bagimu ini adalah bumi surga

Bumi tempat kau  mengabdi dengan menaruhkan sejuta asa

Bumi para penghuni cinta damai dengan sesama

Kau pula pahlawan desa

Sang pembela tanah subur bagi banyak warga

Penyampai tangan tuhan demi kemakmuran surga tanah kelahiran

 

 

Metro, 20 Oktober 2017

 

Dusun Bambu Dalam Puisi

Dusun Bambu Dalam Puisi

oleh Mieft Aenzeish

 

 

Tempat dimana hanya kutemu wajah-wajah peri

Bahagia tak pernah lupa untuk selalu berseri

Begitupun ketika aku di dalamnya

Segala nampak jelita darinya

 

Kehendak membawaku duduk di samping danau ini

Menikmati cerianya mereka tanpa ditemani

Meski begitu, tak masalah bagiku

Sendiri adalah ketidak abadian dalam hidupku

 

Kemudian aku berjalan menyusuri sungai kecil

Membiar segala ingatan tentang mantan mengucil

Bersama air yang deras mengalir

Menjatuhkan berapa banyak bulir

 

Sayang, disinilah aku mengembang

Bersama wangi yang sejak tadi terbang

Berkeliling kesetiap sudut rumpun bambu

Menolak untuk ingat pada abu-abu

 

Sebab disini hijau

Langit meninjau

Dusun bajau

Bambu jarjau

 

 

01.07.2017

Bandung

 


NOTE :

bajau1/ba·jau/ n 1 Antr kelompok sosial yang hidup di perahu, berdiam di perairan laut atau selat sekitar pantai timur Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores; 2 rakyat

jarjau/jar·jau/ n kayu penyangga lantai

 

 

Puisi Tentang Lembang

Puisi Tentang Lembang

oleh Mieft Aenzeish

 

Disinilah, waktu bisa menjadi lebih cepat berlalu

Bahkan seolah baru saja ku membuka mata, aku kembali sudah harus menutupnya

 

Disinilah, ribuan pasang mata menjadi serupa alu

Menumbuk rasa penat, menghaluskan kembali pikiran dan menyegarkannya

 

Bahwa, aku pun masih sering merasa

Hawa dingin disini selalu menjadi hal yang tak biasa

Bukan sebab ia mampu membuat kering kulit tubuhku

Justru karena hanya disini, nestapa tak pernah bisa cair dari beku

 

Benar memang, disini, di kota lembang

Segala bisa nampak indah sebagaimana kembang

Ini pun terjadi jika engkau hendak bertandang

Bersiaplah untuk tak lepas pandang

 

Terhadap pemandangan

Terhadap keramahan

Terhadap dingin yang menyejukkan angan

Terhadap pesona perempuan yang bisa saja membuatmu tak bertahan

 

: untuk sekadar berucap, “inilah muara dari segala jenis keindahan!”

 

 

29.06.2017

Bandung

 


NOTE :

alu1 n 1 alat untuk menumbuk padi dan sebagainya yang dibuat dari kayu;

 

Untuk Perempuan Terindah

 

Untuk Perempuan Terindah (IBU)

Puisi oleh Mieft Aenzeish

 
 

Wahai wewangian yang tak butuh wujud

Aku adalah kekasih abadimu

Dan engkau tak pernah lelah untuk sujud

Mengalirkan doa bagi aku, kekasihmu

 

Namun celakanya aku, wahai Ibu

Sering kali masih jadi abu-abu

Kadang baik

Kadang mosaik

 

Namun Ibu, itulah indahnya engkau

Tak pernah ada benci yang mencekau

Selalu bagai bakau

Mengendapkan kebaikan yang memukau

 

Ibu, meski aku lebih rapuh dari sepotong kayu

Aku tak kan pernah jadi layu

Senantiasa ada engkau dihatiku

Menjadi pengingat siapa sebenarnya aku

 

: seseorang yang tak kan ada jika tanpamu

 
 

22.06.2017

Bandung

 
 


NOTE :

mosaik2/mo·sa·ik/ n penyakit virus pada tumbuhan yang dijangkitkan oleh serangga dan menyebabkan bercak kekuning-kuningan pada daun

cekau/ce·kau/ v, mencekau/men·ce·kau/ v menangkap atau memegang (dengan cakar, tangan, atau mulut):

 
 

Bahasa Angin

 

Bahasa Angin

Puisi oleh Mieft Aenzeish

 

Hendak kemana engkau wahai debu jalanan?

Jika kini hujan menjadikanmu diam tak lagi bisa terbang

 

Hendak berbuat apa engkau wahai kuning dedaun?

Jika kini tanganmu telah dilepaskan tangkai yang menjadikan tubuhmu jatuh berserakan

 

Hendak bagaimana lagi engkau wahai spanduk partai di sepanjang jalan?

Jika kini kekalahanmu menjadikan pohon menangis kesakitan

 

Hendak seperti apa lagi engkau wahai jerit hati yang tak lagi ingin didengar?

Jika kini tubuhmu benar-benar sudah tergadaikan ilusi kehidupan

 

Entah, entah kapan bisa ditebus

Bahkan api dan air malah jadi dingin saat merebus

 

Kemudian alam mendikte seberkas cerita yang di tulis angin pada langit

Menjadikan hujan menari tanpa jerit, tanpa bau sangit.!

 

 

18.06.2017

Bandung

 

 

Ibu, Ini Puisi Untukmu

Ibu, ini Puisi Untukmu

Puisi oleh Mieft Aenzeish

 

Ibu, ini puisi untukmu

Engkaulah kekasih pertama bagiku dan yang tak pernah jadi akhir

Aku hidup dari rasa sakit yang menderamu

dan Engkau mengajariku untuk tak takut pada rasa getir

: karena hidup, selalu ada tempat untuk mereka yang berpikir dan bertakbir

 

Itu yang selalu terngiang dalam diri dan hidupku

ucapan sederhana, terbuat dari hati penyayangmu

dan Aku merasa, masih bisa menikmati indahnya Kau pangku

meski tak sebagaimana dulu, kini Kau pangku Aku dengan nasehatmu

 

Wahai Ibu, kekasih yang tak letih memberi sejuta kasih

maafkan Aku atas banyak salah yang tak ku sadari

bawalah Aku kepada surga yang Kau pilih

dan doakanlah Aku untuk tetap kuat berdiri

: sebagaimana Kau kuat melawan prahara hidup ini

 

21.03.2017

Cimahi

 

 

Dedaun dan Embun

Dedaun dan Embun

Puisi oleh Mieft Aenzeish

 

hijau, warna tubuhmu yang biasa berkemul dengan embun

melengkap sebagai cerita yang tak pernah henti mengalun

dan setelah sempurna fajar, kemesraan semakin tergambar

membuatku merasakan bahwa cinta ternyata ada, pada yang jauh di nalar

 

garis-garis cinta yang diutarakan dedaun kepada embun

adalah ketulusan yang hanya dimengerti angin

dan cahaya mentari yang kemudian datang, mengenalkan diri sebagai penyamun

mengakhiri kemesraan yang terjalin

 

kesempurnaan telah tiba pada titik ketidaksempurnaan

menghantarkan embun, kembali dalam prosesi tanpa nyanyian

dan dedaun memilih lupa pada semua kemesraan

karena mentari kini lebih hangat menggantikan

 

: melepas keterasingan

sampai saatnya kembali, di kemesraan sebelum pagi

 

 

06:55

01.05.2016

Bandung

 

Scroll to Top