Antologi Puisi Terbaru Pak Dhe TIMUR SINAR SUPRABANA
Timur Suprabana:
mengenai usai
usai ini seperti usia
ketika digusur umur
: bikin hatiku tak punya rahasia
bahkan bayang tentang dunia kubur jadi sesegar air sumur
“telah hampir Sampai,” pikirku.
meski tak bisa kutahu kapan tiba.
tiap langkah merindu Lagi.
meski kadang, namun sangat jarang, sempoyongan.
alangkah indah saat tak cemas, kuatir, atau terlebih sampai takut.
betapa manis ketika tak berharap, sebab harapan telah nyawiji dengan kenyataan dan kejadian.
beberapa hal, bisa saja tak penting (walau bukan pula soal remeh), telah kucatat
mungkin, kelak yang tak kutahu pasti kapannya, engkaulah yang membacanya (silakan
kalau kau hendak bacakan
juga bagi lain orang)
atau tak seorang pun, entah mengapa, sempat membacanya
tak apa
kerna bukankah angin mesti tak henti mendesau
agar ia bisa mengabarkan kesiurnya?
(angin, engkau tahu, jelmaan udara yang bergerak.
saat ia diam
hanya tinggal entah
bukan udara.)
telah usai usia
: umur mendekap
penuhCinta
…..
04.03
06.06.2022
~ tanpa kota penanda
Timur Suprabana:
kota yang lain
pagi ~nampak molek dan sedikit semog~ langitnya biru bersisik susunan lempenglempeng mega putih sisa semalam yang mengingatkanku pada pola punggung kurakura jawa (lalu secangkir kopi, angin yang lelah, ingatan pada gerimis, dan lapar yang tak kunjung terasa sejak tiga hari lalu, melengkapkan keengganan beranjak)
entah gunung apa, di agak selatan, membiru jauh
entah pohon apa, kubayangkan pernah entah siapa berteduh lalu mati dipedaya kerimbunan pada suatu hari menjelang pertengahan bulan lalu, melalui helaihelai daunnya bercakap dengan akar yang tak henti ~dengan sabar~ meremas batubatu
seseorang, dengan pandang mata seolah mengenalku, tersenyum namun jelas tidak padaku
orang yang lainnya lagi, berkemeja oranye mranggen, menghampiriku untuk meminjam korek tapi tidak buat menyulut rokoknya ~mungkin kerna
korekku berwarna oranye juga~
seekor anjing melintas,
pengendara menekan tombol klakson,
perempuan membuka tas tangan yang seperti terbikin dari kulit ular. mungkin hendak mengambil lipenstip,
tukang parkir berucap nyaris seolah berteriak, “kiri… kiri… kiri… terus… bales… lurus… hooop…”
lalu sunyi
…….
belum pukul tujuh
tapi kota ini seolah sudah begitu tua
telah lama tak dicat ulang
membayangkan kota dicat ulang
aku tertawa
dan tibatiba menemu diri menjelang rabun
dengan jarijemari kadangkadang mendadak sebentar mati rasa
sudah sejak sembilan belas tahun lalu
usia didepak umur.
tahun depan, enam puluh, barangkali mulai usur.
anjing yang tadi melintas
entah muncul dari sisi mana
menggonggong
tukang parkir yang tadi pula
kembali memberi aba aba.
ini kali
pada pengemudi yang berbeda
perempuan dengan tas tangan yang seperti terbikin dari kulit ular
sudah tak lagi duduk di kursinya
gembira kerna tibatiba merasa lapar
aku bersiul
merasa disayang,
merasa terberkati
merasa kaya sebab pagipagi sudah bisa ingin makan
…….
06.31
31.05.2020
~tanpa kota penanda
Timur Suprabana:
pada delapanbelaskota pertama
pada delapanbelaskota pertama dari tigapuluhtujuhkota yang runtuh dalam deret mimpi di relung dangkal tidurtidur yang tak pernah sepenuhnya lelap, airmata telah lenyap. begitu pula dukacita atau pun gembira. cinta, kangen menahun dan batuk seratus hari, bau tembakau dan aroma kopi, harum kayumanis dan wangi kenanga jawa, ngringkel seranjang dalam ruang berbohlam duapuluh watt yang tak henti berkedip acak seperti sedang menceritakan entah apa seolah besok bisa saja kiamat tiba tanpa awalan tandatanda.
semua, aneh, terasa asing justru kerna ~barangkali~ corona betul bakal segera tiada
aku, membayangkan diri sebagai bulan yang ingin kau bisa pandang sisi berbedanya, ndingkik malam yang pasti tiba berbareng akhir senja. lalu, ketika derkuku tak lagi bisa selain memejamkan mata ~nangkring di dahan pohon salam~ kedasih melantunkan semacam senandung yang hanya para peri yang memahami ngiluperihnya
oh, apakah Alex Poerwo masih suka sesekali mengajak menari semaksemak?
apakah erik jangkrik betul memang munghubungkanku dengan tanda kapan tiba waktu pohonpohon turi segera mensoleki rantingrantingnya dengan yang mengingatkanku pada pedang buntek kecil para pangeran dalam dongeng yang tak pernah rampung dikisahkan?
di latar, dari sebuah rumah tua tak terurus dihuni hantu noniknonik londo, kembangkembang bawangbawangan mekar putih nyaris memplak dengan lingir helai kelopaknya bersaput hijau terang ~aku suka memotretnya sembari menyenandungkan sebuah lagu sedih yang tak pernah kutahu judulnya~
oh, apakah Triyanto Triwikromo tahun ini jadi berangkat ke jerman lagi saat aku berharap bisa seminggu menginap di tawangmangu ~dinginnya sama~ sembari mencongkeli tandabaca tandabaca pada mungkin limapuluh sembilan teks puisi (dukalara. warnanya jambon) yang begitu saja kutulis justru saat kehilangan rindu pada bagaimana ketika asmara meremas degab di rongga dada
keheningan, begitu panjang, tanpa jeda yang melahirkan sela, berkilau lurus lebih panjang dari rel kereta api semarang jakarta. selalu berderak. senantiasa mendesakdesak
hatiku, o, hatiku
kenapa dikau, Kekasih
ku
…..
21.37
30.05.2022
~tanpa kota penanda
Timur Suprabana:
sebab bukan
lalu kubiarkan hatiku menjauh dari hampir segala jenis rasa dekat
hingga sore pun luruh
sampai bahkan maut pun tercekat.
dan, dari selatan, dari sesudah gunung gunung, angin mendesau patahpatah. seolah berjingkat
seluruh rindu
terjerat Sudah
di luar sua
…..
17.35
30.05.2022
~tanpa kota penanda
Timur Suprabana:
d e k a t
lalu keheningan yang semula kubayangkan mengembara di entah Sana terasa tibatiba menyelinap dan dengan lembut, nyaris seperti perempuan, memukimkan Senyap pada sela degab jantung yang walau pucat namun menampik penyap
semacam gairah
resah panjang
pecah
jadi terang
semacam warna ungu
mengingatku pada betapa lama
beberapa nama
tak lagi pernah kurindu.
dan cinta, yang orang kata Fana,
sesat di berjenis perdu
rasa ketika angin mendesau
kesiurnya bikin risau,
mengingatkanku pada kilau
permukaan rawa berair payau,
tinggal pohonpohon bakau
menyunyikan sedih para perantau
sejak kapankah aku di Sini,
sendiri, berulang
menggumamkan namamu
sembari tak henti menepis rasa ingin bisa sua justru saat kita bertemu?
o, garistangan yang selalu
berpaling dari jejak yang tercetak langkah
apa Kelak bakal bisa dikisah ujung jarijemari
saat Asmara, gandrung yang harum itu, ternyata cuma Samsara yang sedang sebentar bergembira?
maka kulipurlipur hatiku
dan kepadanya kubisikkan, “tidurlah. berdamping dengan umur.”
sungguh kian Jauh
rasa dekat Itu, kekasih
…..
03.35
30.05.2022
~tanpa penanda kota
Timur Suprabana:
Menjauh
ketika kau pun menjauh
segala dekat pun luruh
tinggal gerimis patahpatah
sepanjang belasan kilometer menjelang masuk kota ketiga,
tinggal ingatan pada kepak sayap
pada rasa ingin lekas tiba.
barangkali di ambang mula cahaya
jalan tol, sebagai sediakala, tak memungkinkan para pengendara
berpapas di lajur yang sama,
gerak, seperti direncana, melulu mesti searah (di lain sisi,
mereka yang melaju itu,
pulang ataukah pergi?)
“terimakasih,” kataku tiap ketika palang di pintu tol njeplak tanpa suara. tapi kotak birukuning di samping kanan seperti selalu lantas meludah
betapa dahsyat kesepian saat melaju
berangkat atau pun pulang
jadi makin tak gampang untuk bisa riang
tinggal gerimis
…..
selebihnya, kubayangkan.., rhoma irama bernyanyi, “malam ini
malam terakhir bagi kita…”
aku tertawa
….
gerimis bergegas menjelma hujan
…….
00.09
29.05.2020
~entah, sampai di mana ini~